Sabtu, 28 Oktober 2006

sebuah catatan perjalanan

Jam sudah menunjukkan pukul jam 12 malam tanda pergantian hari. Kapal ferry mulai bergerak perlahan menuju lautan yang terlihat gelap (soalnya di laut nggak ada lampu penerang jalan).
Huehehehe…
Menurut perkiraan, Selat Sunda dapat diseberangi dalam waktu 2 jam. Waktu dilewati dengan menikmati hembusan angin laut yang banyak orang bilang bisa bikin masuk angin (berhubung nggak ada kerjaan jadi cuek wae dengan angin laut). Sesekali sambil mengirim SMS mengucapkan selamat Idul Fitri buat teman-teman yang merayakannya. Ada beberapa orang teman yang mungkin sambil ngantuk-ngantuk berusaha membalas SMS dengan menuliskan: "mohon maaf lahir batin juga ye…".
Mungkin dalam pikiran mereka : "busyet… si Poltak ngapain ngirim sms tengah malem? Lagi ngeronda kali ya?"
Huahahaha…
What ever deh….
(note: ada yg mengenal gue dengan nama "Poltak" dan ada juga yang mengenal gue dengan nama "Jeff". Jadi silahkan direplace sendiri ya…)
Tiba-tiba orang-orang pada lari tunggang langgang di atas kapal. Ada yang sambil menggotong kardus segede kardus tipi atau tas koper yang sepertinya berat sekali. Soalnya hujan gerimis mulai membasahi dek kapal yang sebagian besar hanya beratapkan langit. Wah… benar-benar penuh perjuangan untuk menuju kampung halaman mereka.
Hujan gerimis menemani nahkoda kapal merapatkan kapal ferry yang mulai memasuki dermaga di Pelabuhan Bakauheni. Semua kendaraan mulai menghidupkan mesinnya untuk bersiap-siap keluar dari kapal dan siap menantang jalan lintas Sumatra yang akan dilalui.
Begitu ban mobil mulai menapak di atas aspal Pulau Sumatera, langsung saja perjalanan dari ujung Pulau Sumatera yang penuh petualangan dimulai.
jeng… jeng… jeng… jeeeeeeeng…
(suara sound effect yang kaya di tipi-tipi menandakan petualangan seru dimulai)
Mesin mobil terus dipacu sepanjang perjalanan tanpa mengenal lelah (kecuali kalau ada yg kebelet pipis atau isi bahan bakar di SPBU terdekat). Ketika sinar matahari mulai datang di pagi hari, image
terlihat pohon-pohon dan ilalang yang menghitam terbakar di sepanjang jalan daerah Lampung Utara. Beberapa pohon yang selamat dari api terlihat kering dan sekarat. Kemarau yang berkepanjangan telah membuat suasana menjadi kering dan ilalang menjadi mudah terbakar.
Setelah menempuh perjalanan selama 12 jam dari Jakarta akhirnya kami sampai di daerah transmigrasi yang terletak antara Martapura dan Batu Raja. Daerah ini merupakan daerah kediaman suku asli Ogan Komering Ulu di Sumatera Selatan. Mobil mulai memasuki jalanimage
tanah berbatu yang menanjak dan membelah wilayah perbukitan ke
ring yang terlihat tandus karena musim kemarau yang berkepanjangan. Menurut pengakuan warga setempat, sudah 6 bulan lebih hujan tidak lagi menyiram wilayah tersebut. Akhirnya gue sampai di rumah kakek dan nenek gue yang berada di wilayah transmigrasi tersebut. Konon wilayah transmigrasi tersebut juga ketika itu menampung pengungsian masyarakat yang terkena bencana alam gas beracun di dataran tinggi Dieng.

Keesokan paginya, udara perbukitan yang kering tersebut terasa cukup dingin. Salah satu kesulitan yang dialami penduduk setempat adalah air. Untuk kebutuhan air seluruh penduduk biasanya mengambil air dari dam (sebuah kubangan air yang cukup besar menyerupai rawa).

Berhubung gue mau mandi, jadi gue juga harus mengambil air imagedengan jirigen yang lumayan gede (kira-kira setelah terisi air sebuah jirigen beratnya sekitar 20 kg). Jirigen yang harus diisi air ada 8 jirigen besar dan 3 jirigen kecil. Jirigen tersebut harus gue angkat dari dam ke mobil dengan berjalan kaki sejauh 50 meter di jalan yang menanjak. Untuk memenuhi bak mandi dan persediaan air, gue harus bolak balik sebanyak 3 kali dengan jirigen-jirigen tersebut. Kira-kira kalau dihitung:
3 x [(8x20) + (3x3)] = 507 kg.
Berarti setelah bangun tidur dan sebelum makan pagi gue sudah mengangkat 507 kg air. Wah… gue berharap badan gue bisa langsung keliatan six pack. Tapi malah tangan gue pegel-pegel kaya mau copot ditambah lagi bunyi perut yang mulai demo minta diisi.
Dendam perut keroncongan akhirnya terbalaskan dengan 4 piring nasi.
Huahahaha…

image Di hari ke tiga akhirnya kami memulai perjalanan pulang menuju Jakarta melalui Lampung. Di Lampung kami menginap satu hari untuk berekreasi di Pantai Pasir Putih. Cuaca di Pantai Pasir Putih terasa panas menyengat. Sinar matahari terasa menyilaukan. Susah banget kalau mau bikin foto yang bergaya agak narsis dikit. Tampang gue malah jadi keliatan aneh. (emang dari dulu agak aneh kayaknya)
Huahahahaha….
Soalnya mata musti agak sedikit merem karena sinar matahari yang silau banget.

Pic_0119mini

Di Pantai Pasir Putih terlihat beberapa nelayan yang menjual terumbu karang yang sudah diberi pewarna sehingga menarik perhatian beberapa orang.
Sayang sekali terumbu karang yang dilindungi oleh negara itu diperjualbelikan hanya dengan uang 5 ribu - 15 ribu rupiah. Sekilas terumbu karang itu terlihat seperti plastik. Tapi setelah dilihat dari dekat ternyata memang terumbu karang asli yang diambil dari dasar laut. Seharusnya perdagangan terumbu karang itu dilarang. Mungkin memang kesulitan ekonomi dapat memicu seseorang untuk berpikir sedikit lebih egois. Seharusnya mereka memanfaatkan hasil laut yang lain sebagai mata pencahariannya. Bukannya justru menjual terumbu karang yang jelas-jelas dilindungi undang-undang.

Wah… perjalanan kali ini banyak melihat hutan-hutan gundul yang habis terbakar, tanah tandus yang kering, dan terumbu karang yang dilindungi oleh negara diperjualbelikan seharga 5 ribu rupiah. Sepertinya Indonesia masih memiliki berbagai hal-hal lain yang "nyeleneh".